Isu Uang Rp250 Juta di Polresta Magelang Viral di TikTok, Kuasa Hukum: Fitnah, Bukan Fakta



Yogyakarta – satupena.my.id – Isu panas menyeruak di media sosial TikTok. Sebuah unggahan dari salah satu media online menuding Polresta Magelang meminta uang Rp250 juta terkait penanganan perkara tambang ilegal yang menjerat Adi Rikardi. Tuduhan ini memicu kehebohan dan sorotan publik.


Perkara yang melibatkan Adi Rikardi diproses berdasarkan SPDP Nomor: SPDP/79/VI/RES.5.5/2025/Reskrim tertanggal 5 Juni 2025 dan Surat Penetapan Tersangka Nomor: S.Tap/129/VII/RES.5.5/2025/Reskrim tertanggal 11 Juli 2025. Ia disangka melanggar ketentuan terkait menampung dan menjual pasir dari penambang ilegal.


Klarifikasi Kuasa Hukum


Dalam konferensi pers di Yogyakarta, Selasa (6/8/2025), Radetya Andreti H.N., S.H. dari Law Office Radetya & Associates, didampingi tim hukumnya, menegaskan:


“Informasi yang beredar terkait adanya permintaan uang Rp250 juta oleh pihak Polresta Magelang kepada klien kami adalah tidak benar. Unggahan tersebut dibuat tanpa izin dan tanpa sepengetahuan kami.”


Tim kuasa hukum yang menangani perkara ini meliputi:


1. Radetya Andreti H.N., S.H.


2. R. Aditya Wicaksono, S.H.


3. Widodo Rudianto, S.H.


4. R. Mochamad Akbar Nurliansyah, S.H.


Radetya menjelaskan, informasi yang sempat didapat klien telah dipelintir sehingga menyesatkan publik. Ia meminta maaf atas kegaduhan yang terjadi dan mengimbau publik memahami duduk persoalan sebenarnya.


Bijak Bermedia Sosial


Radetya mengingatkan pentingnya kehati-hatian dalam menyampaikan informasi di era media sosial.


“Kasus ini menjadi pelajaran berharga agar semua pihak berhati-hati dalam menyampaikan informasi, apalagi di era media sosial di mana berita bisa menyebar sangat cepat,” ujarnya.


Pihaknya menegaskan tetap menghormati proses hukum dan berharap penyidikan berjalan transparan sesuai aturan.


Ancaman Sanksi Hukum


Seorang pengamat hukum pidana mengingatkan, penyebaran berita bohong yang menimbulkan keresahan dapat dijerat Pasal 14 dan Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946, serta Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2) UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).


 “Penyebar informasi yang tidak benar bisa diproses hukum jika terbukti menimbulkan keresahan masyarakat,” tegasnya.


Kasus ini menjadi peringatan bahwa keterbukaan informasi harus diimbangi dengan tanggung jawab. Publik diimbau tidak mudah terprovokasi dan menunggu klarifikasi resmi sebelum mengambil kesimpulan.



(Teguh)

Posting Komentar

0 Komentar